HARGA PANGAN MEROKET 70 PERSEN

Posted on 03 00:00:00 Februari 2016 | by : Administrator | 11849 kali dibaca | Category: Berita Utama


Kebijakan pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) baru-baru ini, ternyata tak diikuti dengan turunnya harga harga pangan. Melonjaknya harga pangan ini membuat Presiden Jokowi waspada.  

Dari laporan yang diterima presiden, sejak 2011 hingga 2015, harga pangan di Indonesia sudah naik rata-rata hingga 70 persen. Angka itu langsung membuat presiden waswas.

Pasalnya, berkorelasi erat dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Terlebih, bahan pangan menyumbang 73 persen dari indikator garis kemiskinan. 

“Makanya harus hati-hati betul,” tegasnya dalam sidang kabinet terbatas di Kantor Presiden, kemarin (27/1). Karena itu, Presiden mengaku bakal mengambil langkah-langkah komprehensif untuk mengerem lonjakan harga pangan. “Intinya, memperbaiki suplai dan mata rantai perdagangan,” kata presiden.

Menurut Jokowi, upaya menurunkan harga pangan di tingkat konsumen bukan berarti harus menekan harga di tingkat petani. “Sebab, petani juga harus sejahtera. Karena itu, yang menjadi sasaran perbaikan adalah mata rantai perdagangan,” jelas presiden yang pernah malang melintang di dunia usaha itu. 

Sebab, selama ini harga pangan dari petani cukup murah. Namun, saat dijual ke konsumen, harganya naik signifikan. Presiden menduga hal itu karena panjangnya rantai perdagangan dan adanya pedagang yang mengambil keuntungan terlalu besar. 

”Jadi, kepentingan petani harus dijaga, konsumen juga harus dijaga, jangan sampai yang di tengah (pedagang) saja yang untung besar,” ucapnya.

Lonjakan harga ini menyeluruh di hampir semua bahan pangan. Di Bukittinggi  misalnya, harga daging sapi melonjak jadi Rp 115 ribu per kilogram. Padahal, bulan lalu harga daging dijual di harga Rp 105 ribu per kilogram.

Andi, 35,  salah seorang pedagang daging di Pasar Bawah Bukittinggi menyebut, kenaikan harga daging sudah terjadi dalam satu bulan tarakhir. Dia menduga kenaikan ini akibat banyaknya pembeli sapi dari luar daerah dengan harga tinggi.

“Otomatis, kita juga harus mengiringi harga tersebut. Jika tidak, stok daging kita bisa kosong,” jelasnya.

Sebaliknya, kenaikan ini berefek pada menurunnya daya beli masyarakat. Akibatnya, jual beli pedagang turun hingga 30 persen. “Jika pembeli biasanya sepuluh, sekarang tinggal tujuh. Itu pun harus menunggu sampai sore,” ujarnya.

Sementara Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan, berdasar laporan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, ternyata ditemukan sekelompok pedagang yang selama ini menikmati keuntungan yang besar dari pangan.

“Itu jangan diartikan (pedagang) kecil, mereka adalah pemain besar yang selama ini menguasai dan mendapat keuntungan lebih besar dibandingkan petani,” ujarnya.

Berdasarkan pantauan pemerintah, kelompok-kelompok pedagang tersebut menguasai jaringan perdagangan bahan pangan pokok, sehingga bisa menentukan harga sesuai keinginan mereka. “Karena itu, presiden sudah minta dibuat terobosan untuk mengatasi itu,” katanya.

Setelah rapat dengan presiden, Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyatakan, upaya meminimalisir kenaikan harga akibat distorsi di tingkat pedagang sudah dijalankan melalui beberapa cara, di antaranya dengan memperkuat peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan, tidak hanya beras tapi juga bahan pangan lain.

“Termasuk dengan operasi pasar,” ucapnya. Selain itu, Bulog kini juga diperintahkan untuk membangun jaringan toko-toko bahan pangan di seluruh Indonesia. Tujuannya agar bisa ikut membentuk harga di pasar.

Misalnya, jika Bulog menjual di harga yang lebih murah, maka pedagang di pasar pun tidak akan berani menaikkan harga terlalu tinggi karena konsumen akan lari ke Bulog. “Itu semua sedang berjalan, 2016 akan ditingkatkan,” ujarnya.

Pasar Online

Selain jurus lama tersebut, Menteri Thomas Lembong juga menjanjikan strategi baru yang akan diterapkan mulai 2016. Apa itu? “Dengan perdagangan online,” kata Thomas yakin.

Dia menyebut, Kemendag akan segera mengembangkan business aggregator untuk komoditas pangan. “Ini saran Pak Menko (Darmin Nasution),” sebutnya. 

Menurut Thomas, sistem perdagangan online komoditas pangan ini terinspirasi oleh suksesnya online market place atau situs perdagangan online yang menjamur dan nilai transaksinya terus naik dari tahun ke tahun. “Nantinya, petani dan peternak bisa terhubung langsung ke konsumen di dunia virtual,” ujarnya.

Thomas menyebut, pihak petani dan peternak bisa saja perorangan atau koperasi. Sedangkan konsumen bisa saja perorangan atau kelompok industri seperti restoran atau hotel.

Melalui sistem online, transparansi harga bisa tercapai karena konsumen bisa melihat langsung berapa harga di produsen. “Ini sekaligus untuk menghilangkan perantara,” katanya. 

Thomas mengakui, sistem online ini mungkin belum bisa menjangkau semua masyarakat. Namun, dia meyakini dengan tingginya tingkat penetrasi penggunaan teknologi informasi, sistem ini akan cepat berkembang di masyarakat.

“Saya yakin sistem online ini jadi solusi njelimetnya rantai distribusi pangan kita,” ucapnya.

Sementara itu, anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Khudori menilai, harga pangan sangat perlu dikendalikan karena kenaikan harga berpotensi meningkatkan inflasi.

“Jika ditilik dari sumbernya, inflasi lebih didorong karena sektor pangan yang termasuk volatile foods dan barang-barang yang harganya diatur pemerintah atau administered goods,” ujarnya.

Inflasi nasional rata-rata disumbang sekitar dua persen dari bahan pangan dan satu persen oleh pangan olahan dan tembakau. Secara keseluruhan pangan berperan sekitar 40 persen pada inflasi nasional.

“Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang bisa mengendalikan harga pangan untuk menjaga inflasi,” tambahnya.

Namun upaya pemerintah tidak akan mudah. Pasalnya, kata Khudori, ada segelintir pelaku usaha di sektor pangan yang menguasai distribusi komoditas tertentu.

“Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis terjadi pada dua sumber pasokan pangan, yaitu sisi produksi di dalam negeri dan impor. Di tangan mereka bisnis bahkan menjalar ke urusan politik,” ungkapnya.

Khudori menilai, payung hukum stabilisasi harga pangan sebenarnya sudah kuat terutama dengan adanya Undang-Undang (UU) Pangan No 18/2012 dan UU Perdagangan No 7/2014.

“Dua Undang-Undang itu sebenarnya sudah memungkinkan bagi pemerintah untuk intervensi saat terjadi kegagalan mekanisme pasar atau market failure,” sambungnya.

Pemerintah bahkan sudah menetapkan jenis-jenis kebutuhan pokok yang harus dijaga lewat Perpres No 71/2015. Kebutuhan pokok itu mencakup 11 barang seperti beras, kedelai, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar.

“Tapi, memang masih perlu ditambah aturan-aturan turunan,” katanya.

Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, turunnya harga BBM ternyata tidak berdampak pada penurunan harga bahan pokok.

Pasalnya, tarif angkutan tidak mengalami penurunan meski sudah ada imbauan dari pemerintah. “Seharusnya, harga bahan pokok turun bulan ini, tapi kenyataannya malah pada naik,” sebutnya.

Beberapa bahan pokok yang harga melambung seperti daging sapi dari Rp 110 ribu per kilogram sempat melambung hingga Rp 130 ribu per kilogram akibat pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen awal Januari lalu.

“Buktinya setelah kebijakan PPN dicabut pun, harga belum kembali seperti semula. Jadi, sebenarnya bukan itu permasalahan intinya,” kata dia.

Lalu, harga beras juga melonjak dari sekitar Rp 10 ribu per kg menjadi Rp 11 ribuan per kg. Demikian juga harga telur ayam, sebelumnya Rp 23 ribu per kg menjadi Rp 24-25 ribu per kg.

Menurut Ngadiran, kenaikan harga bahan pokok itu disebabkan kurangnya pasokan. ”Sejumlah daerah belum panen jadi pasokan sekarang berkurang dan harga naik,” ujarnya. (*)

Sumber: Padang ekspres