Pentingnya Keragaman Pangan
Posted on 28 11:02:56 Februari 2018 | by : Administrator | 24424 kali dibaca | Category: Artikel
JAKARTA, KOMPAS — Pengabaian ragam pangan lokal telah mengarahkan Indonesia ke dalam ancaman krisis. Selain ketergantungan pada impor gandum dan beras, beberapa daerah juga teridentifikasi rentan pangan. Kasus gizi buruk dan bencana kesehatan di Asmat, Papua, baru-baru ini bisa jadi alarm adanya masalah pangan ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, kepada Kompas, Senin (26/2), mengatakan, masyarakat Papua, termasuk Asmat, pada masa lalu hidup dengan pangan lokal dari umbi-umbian dan sagu. Namun, semenjak ada program bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dari pemerintah pada 2003, peralihan konsumsi masyarakat ke beras semakin cepat.
”Semenjak adanya raskin, masyarakat Papua tidak lagi mengolah pangan lokal, tetapi menunggu jatah bulanan raskin,” ujarnya.
Perubahan perilaku konsumsi ini tidak hanya terjadi di perkotaan dengan ketersediaan beras cukup tinggi, tetapi juga di kampung-kampung terpencil. ”Jadi, bilamana stok raskin terlambat masuk ke daerah terpencil karena masalah transportasi, bisa terjadi bencana seperti di Asmat, juga di kampung lainnya,” ujar Yohana.
Yohana berpendapat, solusi terbaik untuk mengatasi soal pangan di Papua adalah kembali pada kearifan lokal. ”Masyarakat harus diajak untuk kembali menanam dan menokok sagu, yang justru lebih sehat daripada beras,” katanya.
Sangat kaya
Kasus di Papua menunjukkan besarnya risiko dari penyeragaman pangan ke beras. ”Pola konsumsi sumber karbohidrat masyarakat Indonesia saat ini mengarah pada beras dan gandum. Padahal, negeri ini memiliki begitu banyak potensi sumber pangan lokal, yang dari aspek gizi bisa lebih baik,” kata ahli ketahanan pangan dari Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Drajat Martianto.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu. Keragaman sumber pangan ini merupakan yang tertinggi di dunia setelah Brasil.
Sumber karbohidrat bisa berasal dari umbi-umbian, seperti ubi jalar dan talas. Selain itu, Indonesia juga memiliki karbohidrat dari buah, yaitu sukun dan pisang. Sementara karbohidrat dari batang tanaman terdapat pada sagu.
Guru Besar Agronomi Fakultas Pertanian IPB Bintoro mengatakan, sagu merupakan tanaman asli Indonesia yang potensinya berlimpah. ”Luas lahan sagu kita mendekati 6 juta hektar. Setiap 1 hektar bisa menghasilkan 20-40 ton tepung sagu kering,” kata Bintoro yang juga Ketua Umum Masyarakat Sagu Indonesia.
Menurut Bintoro, produktivitas sagu sangat tinggi. Untuk menghasilkan 30 juta ton padi dibutuhkan sawah 12 juta hektar. Untuk hasil sama, hanya dibutuhkan 1 juta hektar lahan sagu. ”Satu juta hektar saja lahan sagu kita panen bisa memberi makan seluruh rakyat Indonesia setahun. Jadi, jika kebijakan pangan kita tidak bias beras, tidak ada kekurangan pangan di Papua,” ujarnya.
Selain tinggi produktivitasnya, sagu juga bisa tumbuh di lahan marjinal, termasuk di lahan gambut dan rawa-rawa. Dengan karakteristik ini, sagu bisa menjadi jawaban sumber pangan seiring terjadinya perubahan iklim yang memicu tingginya variabilitas cuaca. ”Namun, kenyataannya, sagu saat ini diabaikan. Setiap ada pembangunan, termasuk cetak sawah baru yang saat ini gencar dilakukan, juga mengorbankan lahan sagu. Ini, misalnya, terjadi di Lingga, Kepulauan Riau,” kata Bintoro.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi membantah bahwa cetak sawah baru meminggirkan keragaman pangan lokal. ”Cetak sawah baru biasanya di lahan tersendiri yang tidak mengganggu tanaman pangan lain,” katanya.
Meski demikian, berdasarkan pantauan di sejumlah daerah, cetak sawah baru sering menggusur lahan pangan lain, utamanya sagu. Misalnya, di Provinsi Maluku. Menurut data Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, dalam 50 tahun terakhir terjadi penyusutan lahan sagu di Maluku hingga 50 persen. Survei terakhir pada 2006, sagu di Maluku hanya tinggal 40.514 hektar. Peneliti sagu Unpatti, Marcus Luhukay, mengatakan, penyusutan ini disebabkan pembukaan lahan pertanian sawah, permukiman, dan pembangunan gedung pemerintahan.
Sebagai contoh, pada 2015, hutan sagu seluas 350 hektar di Desa Besi, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah, diubah menjadi sawah. Lahan sagu juga dibabat untuk pembangunan Kota Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur.
Menurut Marcus, program pemerintah yang hanya fokus pada pengembangan padi tidak cocok diterapkan di semua wilayah Maluku. Hal ini justru akan mempercepat peralihan pangan masyarakat, yang pada akhirnya bergantung pada kiriman beras dari luar daerah.
Penyeragaman pangan juga terjadi di Kabupaten Sumba Timur dengan pencetakan sawah baru di Desa Pinduharani, Kecamatan Tabundung. ”Kalau Sumba dipaksakan untuk swasembada beras, jelas itu tidak mungkin. Lahan yang cocok untuk sawah di Sumba sangat terbatas karena kondisi iklim yang kering,” kata Direktur Stimulant Institute Sumba Stephanus Makambombu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras masyarakat Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.
Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB Suryo Wiyono mengatakan, persoalan pangan di Indonesia terjadi karena tiga lapis bias. Pertama, bias pangan harus beras. Kedua, bias beras harus dari padi sawah. Ketiga, budidaya padi harus lewat pupuk dan obat kimia.
Menurut Suryo, budidaya padi memiliki banyak keterbatasan sehingga tak mungkin menjadi satu-satunya tumpuan untuk memenuhi kebutuhan pangan. ”Tidak semua wilayah Indonesia cocok untuk padi. Hanya Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera serta Sulawesi secara klimatologi dan ekologi cocok bagi budidaya padi sawah. Padahal, Jawa dan Bali yang jadi tumpuan produksi padi nasional mengalami konversi lahan masif,” kata Suryo.
Kebutuhan gizi
Drajat Martianto mengatakan, aneka ragam sumber bahan lokal rata-rata memiliki karbohidrat tinggi dan dalam bentuk tepung kandungannya setara dengan beras dan terigu. Selain itu, hampir semua sumber bahan pangan lokal itu juga memiliki kadar protein rendah—kecuali tepung jagung—selain juga bebas gluten, protein yang biasanya ada di gandum dan kerap memicu masalah kesehatan. Beberapa sumber pangan ini, seperti jagung kuning, ubi jalar, dan ubi kayu kuning, memiliki kandungan beta karoten tinggi yang berguna sebagai antioksidan.
”Sudah sepuluh tahun belakangan saya mempraktikkannya. Rata-rata sekarang hanya mengonsumsi nasi seminggu sekali, nyatanya lebih sehat. Jika pola ini diterapkan seluruh masyarakat, kebutuhan beras akan jauh berkurang,” ujarnya.
Menurut Drajat, pola makan juga terkait dengan aspek budaya. ”Misalnya, di Nusa Tenggara Timur, jagung yang dulu jadi makanan pokok kini identik dengan masyarakat miskin. Kalau mereka punya uang, akan pilih beras. Fenomena ini terjadi di mana-mana karena kebijakan kita selama ini bias beras. Ini tantangan berat untuk mengubah persepsi dan selera masyarakat yang telanjur terbentuk. Dibutuhkan perubahan perilaku konsumen dan juga pengambil kebijakan,” kata Drajat.
Sumber: Kompas