Kedaulatan Pangan Baru Sebatas Ide
Posted on 28 00:00:00 September 2015 | by : Administrator | 2197 kali dibaca | Category: Berita Utama
Komitmen pemerintah daerah mewujudkan kedaulatan pangan di Sumbar baru sebatas ide. Namun, bagaimana konkret di lapangan masih jauh panggang dari api. Tantangan ini harus dijawab kepala daerah mendatang.
Demikian mengemuka dalam diskusi terbatas memperingati Hari Tani bertajuk “Sumbar menapak kedaulatan pangan memperkokoh kedaulatan bangsa” di Jalan Musi, GOR H Agus Salim Padang.
Diskusi ini dihadiri sejumlah tokoh dan ormas tergabung dalam AFTA (Alumni Fakultas Pertanian Unand), JKMP4 (Jaringan Komunitas Masyarakat Peduli Perikanan Pertanian dan Peternakan), Badan Ketahanan Pangan Sumbar, SPI (Serikat Pekerja Indonesia) Sumbar, LSM, serta mahasiswa.
“Petani sebenarnya punya asuransi gagal panen, tapi petani ini tidak tahu kalau mereka memiliki asuransi itu. Melalui Hari Tani ini, SPI mengimbau, kedaulatan pangan itu bukan mimpi namun bisa diwujudkan. Pertanyaan sekarang, mau tidak pemerintah mewujudkan itu,” ujar Ketua DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar, Rustami.
Rustami menuturkan bahwa membangun kedaulatan pangan harus berawal dari tanah sebagai sumber kehidupan petani. Selayaknya, imbuhnya, untuk melahiran keluarga petani yang sejahtera minimal harus menguasai lahan dua hektare sesuai amanat UU Pokok Agraria.
Namun, rata-rata penguasaan lahan di Sumbar hanya 0,25 hektare. Artinya, tidak layak menjadikan petani sejahtera.
“Kalau kita lihat lagi, lahan itu hanya dikuasai segelintir orang. Kalau kita identifikasi, buruh tani di Sumbar tidak semua yang memiliki lahan. Artinya, hanya sebagai buruh tani. Seharusnya, Dinas Pertanian lebih selektif lagi mendata dan bisa membedakan mana buruh tani, maupun petani,” ujarnya.
Terkait permasalahan lahan, dia meminta seluruh elemen bisa berpikir cerdas guna mencermati permasalahan tersebut.
“Banyak lahan yang dikuasai negara, seperti HTI (Hutan Tanaman Industri) di Pasaman Barat seluas 71.000 hektare, kini terbengkalai saja dan ditumbuhi semak-semak. Jadi bila lahan ini dimanfaatkan, bisa dibayangkan berapa ribu kepala keluarga yang bisa diselamatkan,” paparnya.
Sementara itu Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Sumbar, Yuwarsyah menuturkan, paling kurang ada dua tahap yang perlu dicapai guna mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu ketahanan pangan dan kemandirian pangan.
Untuk Sumbar, katanya, saat ini sudah mencapai tahap ketahanan pangan. Soalnya, sejumlah komoditi pangan di wilayah Sumbar mengalami surplus.
“Jika di tingkat masyarakat atau rumah tangga harga pangan sudah aman dan terjangkau, berarti kita sudah berada pada tahap ketahanan pangan. Kalau kita sudah tahan pangan dan mandiri pangan, barulah kita bisa menuju kedaulatan pangan itu,” ujarnya.
Yuwarsyah menambahkan, Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan sudah diaplikasikan Sumbar melalui Perda No 3 Tahun 2015 tentang Kemandirian Pangan.
“Saat ini Sumbar sedang menuju tahap kemandirian pangan. Lewat Perda No 3 Tahun 2015 itu, nanti kita juga akan sama-sama mendorong agar diperkuat dengan pergub untuk tindak lanjutnya ke lapangan,” ujarnya.
Ketua Kelompok Tani Durian Ciamih, Kartini menyebutkan bahwa saat ini sudah banyak petani padi beralih menanam tanaman lain seperti pepaya. Sebab, keuntungan menanam pepaya dianggap jauh lebih besar dan hemat tenaga dibanding padi.
Biarpun begitu, walaupun menurut kalkulasi ekonomi tanam pepaya menghasilkan rupiah yang lebih besar, tapi tetap saja tak menjamin ketahanan pangan.
“Sudah banyak lahan padi beralih fungsi ke tanam lain, seperti papaya. Dari 20 anggota di kelompok tani saya, hanya 5 menanam padi. Kalkulasinya begini, 4 hektare saja tanam pepaya, dalam 4 tahun keuntungan bisa Rp 250 juta,” paparnya.
Agar tidak semakin banyak petani beralih profesi, dia menekankan agar kesejahteraan petani padi harus ditingkatkan. “Sekarang beras Rp 3.700 sekilo. Dengan harga segitu, anak kami tidak akan sekolah. Kalau dinaikan saja 5.000 per-kg, saya rasa petani sudah mau menanam padi kembali,” ujarnya.
Di sisi lain, Zola Pandu, Ketua JKMP4 berharap, diskusi tersebut bisa mengawali kebangkitan petani, sehingga petani bisa disejahterakan. “Ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan itu bisa diwujudkan, tentunya dengan lebih dulu mensejehterakan petani,” ujarnya.
Menurutnya, banyak keterbatasan dari petani yang menjadi pokok permasalahan dalam mewujudkan kedaulatan pangan, seperti keterbatasan lahan dan jam kerja petani sedikit.
Padahal, menurut Zola, jika petani bisa mengoptimalkan delapan jam bekerja dengan lahan cukup dan teknologi yang dimiliki, kedaultan pangan bisa dicapai.
“Untuk kesejahteraan petani, tentu kita hitung skala ekonominya. Apakah dapat mencapai kesejateraan ekonomi atau tidak. Untuk masalah ini, kita lihat ada dua langkah yang bisa dilakukan. Kalau itu sawah, maka untuk meningkatkan produksi padi bisa dengan menambah luas lahan. Bila luas lahan tidak bisa ditambah, maka petani bisa berinisiatif mengelola komoditi lain di lahan sawahnya, seperti berternak atau perikanan,” ujarnya.
Sementara itu, Oyon Syafei, Ketua KTNA Sumbar mengatakan, ada beberapa persolan dalam mencapai tujuan kedaulatan pangan. Intinya, bisa menanamkan kesadaran kepada petani terhadap segala keterbatasannya, seperti keterbatasan lahan, sumber daya manusia, dan permodalan.
Sebetulnya, tambahnya, pemerintah sudah concern terhadap masalah ini melalui sejumlah program pemberdayaan petani, seperti bantuan irigasi, sarana produksi dan mesin. “Kuncinya, bagaimna kita mulai dari tingkat kelembagaan sampai petani serius menjalankan program tersebut,” ujarnya.
Bila bantuan tersebut tidak dimaksimalkan dengan jam kerja optimal, menurutnya, tentu tidak akan ada peningkatan produksi. Artinya, kedaulatan pangan pun juga tidak akan tercapai. Selain itu, sarana produksi juga sangat menentukan tercapai atau tidaknya kedaultan pangan.
“Sebenarnya petani kita sudah memiliki teknologinya, namun butuh pengawalan dari semua pihak. Pupuk misalnya. Seperti kita ketahui pupuk disubsidi pemerintah, namun distribusinya sering mengalami pelanggaran di tingkat distributor dan pengecer,” ujarnya. (*)
sumber: koran.padek.co