Beras Kelas Menengah
Posted on 25 09:35:46 Juli 2017 | by : Administrator | 2472 kali dibaca | Category: Artikel
Kasus penggerebekan atau penyitaan beras di gudang PT Indo Beras Unggul, Bekasi, Jawa Barat, menjadi menu akhir pekan media massa. Kasus ini masih diusut polisi. Kita lepaskan kasus ini dan meneropong pasar beras di Indonesia yang memang ruwet. Perilaku konsumsi kelas menengah ikut berkontribusi dalam keruwetan ini.
Apabila PT Indo Beras Unggul (IBU) berhasil menjual beras dengan harga mahal, itu karena pasar untuk produk tersebut memang nyata ada. Sekitar awal tahun 2000, jauh sebelum PT IBU memproduksi beras dengan harga mahal itu, konsumen kita tiba-tiba gandrung pada beras yang diimpor dari Thailand. Beras dengan berbagai label itu dijual jauh di atas harga beras lokal.
Kesuksesan penjualan beras Thailand membuat produsen di dalam negeri ikut memasuki pasar itu. Mereka juga sukses menarik konsumen untuk membeli beras yang disebut premium, lebih enak, lebih pulen, dan lain-lain. Apakah benar produk tersebut memiliki kualitas yang prima? Kala itu beberapa produsen yang ditemui hanya tersenyum simpul. Mereka memperlihatkan proses pengolahan ulang yang membuat beras berkualitas rendah terlihat semakin berkilau. Beras ini kemudian diberi kemasan hingga terlihat lebih menarik. Beras ini mampu masuk ke pasar swalayan. Harganya pun berbeda jauh dengan beras yang dijual di pasar tradisional.
Para produsen makin senang karena produk mereka digemari konsumen yang menyukai beras dengan berbagai label “premium”. Permintaan bertambah ketika kelas menengah baru makin enggan ke pasar tradisional. Mereka lebih memilih beras dalam kemasan dibandingkan datang ke pasar dan membeli beras secara langsung. Penjualan beras berkemasan itu tak hanya di pasar swalayan, tetapi hingga di minimarket. Sedikit orang yang mau membeli beras dengan mendatangi pasar atau kios beras.
Kelas menengah ini juga makin merasa nyaman dengan kepraktisan penjualan beras dalam kemasan. Perbedaan harga beras di pasar tradisional dan pasar swalayan yang lebar pun makin tak menjadi perhatian mereka.
Fenomena ini menjadi ladang bisnis pedagang beras. Mereka memilih menjual dengan cara itu dibandingkan menjual dalam ukuran karung atau yang eceran kecil. Pemain baru bermunculan. Kondisi konsumen kelas menengah seperti itu makin memastikan bisnis beras dengan predikat “premium” dan berkemasan akan menguntungkan, bahkan sangat menguntungkan! Apalagi konsumen kelas menengah ini boleh dibilang tidak terlalu sensitif dengan harga. Sayang sekali pemerintah tidak segera mencermati fenomena ini.
Para produsen beras berekspansi dengan membangun penggilingan beras dan gudang berskala besar. Mereka berani melakukan investasi besar-besaran karena yakin bahwa keuntungan di depan mata. Bahkan, mereka berani membeli beras petani dengan harga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh Perum Bulog.
Hingga situasi seperti itu, pemerintah lagi-lagi tidak melakukan langkah strategis. Izin pembangunan penggilingan dan gudang pangan penting dalam skala besar tetap diberikan. Akibatnya, Perum Bulog sulit mendapatkan beras dari petani ketika harus membangun stok nasional. Pada masa lalu pedagang mengantre menjual beras kepada Perum Bulog, kini hanya sedikit pedagang yang menjual beras kepada Perum Bulog.
Penguasaan komoditas pangan strategis oleh pedagang besar memang membahayakan. Akan tetapi, cara pemerintah menangani masalah ini haruslah taktis dan tidak terkesan sensasional.
sumber: kompas