Sekolah Lapangan, Jadi Petani Sekaligus Peternak

Posted on 11 09:40:53 Oktober 2017 | by : Administrator | 2430 kali dibaca | Category: Artikel


Berpuluh tahun hidup di bawah garis kemiskinan sebagai buruh tani, warga Desa Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mencoba bangkit. Ikhtiar maju ditapaki dengan beternak sapi. Ternak sapi menjadi semacam tabungan, penyangga kebutuhan hidup sekaligus daya untuk maju.

Sumiati (31) tertegun mengamati pembuatan pakan silase di samping kandang komunal warga. Pagi itu di akhir September, ia mengikuti sekolah lapangan yang digagas petugas penyuluh pertanian dan peternakan dari kantor Kecamatan Ngaringan, Grobogan. ”Saya ikut supaya paham merawat sapi. Sudah tiga sapi saya ternakkan,” kata Sumiati yang suaminya bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Di sekolah lapangan ini ada 5 perempuan dan 30 pria yang semuanya buruh tani. Budi Wibowo, penyuluh pertanian Kecamatan Ngaringan, mengungkapkan, pelatihan itu mengajari petani yang memiliki ternak sapi untuk membuat pakan ternak fermentasi. Hal ini penting karena sapi membutuhkan makanan terus-menerus, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Padahal, saat kemarau, peternak kesulitan mendapatkan makanan hijauan seperti rumput dan dedaunan lain. Untuk itu, petani harus bisa membuat pakan ternak dari sumber daya alam yang bisa disimpan lama. Bahan utama silase disesuaikan dengan sumber daya lokal yang melimpah. Kebetulan di Grobogan banyak terdapat tanaman jagung. Silase dibuat dari

batang jagung yang masih hijau atau tebon. Satu kuintal tebon cukup diberi 2 sendok makan tetes tebu, 5 kilogram bekatul, 600 mililiter air, dan 1 sendok probiotik. Pakan ini bisa disimpan selama tiga pekan dalam kantong plastik dan suatu saat siap diberikan pada sapi. Sekolah lapangan disambut antusias para buruh tani. Sukarin (51), petani di Desa Karangdowo, mengaku tidak khawatir kesulitan memotong tebon karena sudah disediakan mesin milik gabungan kelompok tani setempat. ”Saya tinggal membeli tetes tebu dan cairan probiotik. Plastik bisa pakai yang bekas,” ujar Sukarin yang setelah dua tahun memiliki empat sapi.

Ubah kebiasaan

Mengubah kebiasaan dari buruh tani menjadi peternak bukan hal mudah. Sebagai buruh tani mereka hanya bekerja saat dibutuhkan. Namun, sebagai peternak mereka harus penuh inisiatif agar usahanya dapat bertahan dan berkembang. Sumiati menyebutkan, penghasilan buruh tani terhitung mengenaskan. Setahun paling banyak cuma Rp 3 juta. Jika tidak dibarengi memelihara sapi, tentu sulit sekali menyambung hidup sehari-hari. Kini, dengan memelihara tiga sapi, pendapatannya cukup lumayan. Sukarin menuturkan, bertani saat ini seperti berjudi. Kebutuhan modal semakin tinggi, sedangkan pendapatan belum tentu sebanding. Gambarannya, modal awal untuk tanam padi setahun membutuhkan biaya Rp 25 juta. Biaya itu digunakan untuk sewa lahan sebahu (7.000 meter persegi) Rp 12 juta. Sisanya untuk membeli benih, pupuk, dan keperluan sarana produksi lain. Hasil panen harus bisa untuk menutup modal yang sudah besar. Situasi semakin tidak pasti saat masuk kemarau seperti sekarang ini. Banyak sawah yang tak bisa digarap karena tak mendapat pengairan. Beruntung kemarau kali ini petani memilih menanam jagung. Hasil panen jagung lumayan bagus, bisa mencapai 9 ton jagung basah. ”Hasilnya bisa lebih banyak, selain penjualan jagung, batang jagung, kulit jagung atau klobot, juga jantung jagung ( jonggol) bisa untuk persediaan pakan sapi,” tutur Sukarin. Petani kini bisa lebih cerdas setelah mengikuti sekolah lapangan. Dulu, jonggol, daun, dan batang jagung diberikan langsung ke sapi untuk pakan. Hal itu membuat petani tidak punya cadangan pakan. Kini, setelah paham membuat pakan fermentasi, petani tidak khawatir lagi sapi kekurangan pakan. Dari ternak, Sukarin mulai bisa menabung. Menjelang Idul Adha awal September lalu, ia bisa menjual satu sapi berbobot 200 kg di atas Rp 16 juta.

Bukan daerah subur

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Lanjar Mulai, Desa Ngaringan, Hardiono menuturkan, sejumlah daerah pertanian di Grobogan, seperti Ngaringan, Wirosari, Pulokulon, dan sekitarnya, bukan daerah subur. Pola tanam yang dikembangkan petani dalam setahun adalah padi dan palawija. Menyadari daerahnya tidak subur, ternak sapi potong menjadi upaya pemberdayaan usaha tani. Sebagai kelompok yang beranggotakan petani dan bukan peternak, Gapoktan Lanjar Mulai memelopori ternak sapi potong kepada para petani sejak 2006. Mereka berhasil membangun kandang komunal yang mampu menampung sekitar 24 sapi. Setelah panen padi kedua atau panen palawija, petani biasanya menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membeli bibit sapi potong. Sapi potong umur 3-4 bulan paling ideal untuk dipelihara. Harga pasaran bibit sapi muda berkisar Rp 5 juta-Rp 6,5 juta per ekor. Menurut Hardiono, budidaya sapi juga dipilih karena memanfaatkan posisi Desa Ngaringan yang dekat pasar ternak. Daerah itu berada di jalur jalan provinsi Semarang-Blora yang terdapat Pasar Hewan Kliwon Wirosari, pusat penjualan sapi terbesar di daerah Grobogan, Pati, Blora, dan sekitarnya. Pasar ini selalu ramai setiap Kamis Kliwon. Tidak kurang dari 700 sapi diperdagangkan. Kini, anggota Gapoktan Lanjar Mulia sedikitnya mempunyai 250 sapi dan biasanya dijual menjelang Idul Adha saat harga sapi sedang tinggi. Seperti dituturkan Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Kabupaten Grobogan Wardi, adanya sekolah lapangan sangat membantu petani. Saat ini seorang petani memiliki tabungan 3-4 sapi yang sewaktu-waktu bisa dijual jika mereka membutuhkan dana segar.

Sumber : Kompas