Filosofi Rangkiang, Salah Satu Solusi Pemberantasan Gizi Buruk

Posted on 29 09:55:50 Januari 2018 | by : Administrator | 33398 kali dibaca | Category: Artikel


Oleh: UNDRI (Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat)

TIGA paneh benar negeri kita ini. Negeri yang kaya sumber daya alamnya dan kesuburan akan tanahnya namun gizi buruk menggurita jua. Sebuah fenomena yang faktual hari ini yang seharusnya tidak terjadi.

Gizi buruk bukanlah sekadar persoalan kurangnya asupan gizi buat si anak, atau kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi yang baik. Namun jauh dari itu, pemahaman roh filofosi rangkiang yang berdiri megah di depan rumah gadang, kita dengar dari ceramahan adat tak meresap benar dalam jiwa kita, Kita hanya menganggap itu hanya persoalan sepele. Persoalan gizi buruk misalnya tidak akan terjadi bila kita memahami fungsi rangkiang itu sendiri.

Di sigi dari sudut asal katanya, menurut AA Navis (1984 : 187), rangkiang asal katanya dari ruang hyang Dewi Sri (Dewi Padi). Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang, yang diletakkan di halaman depan. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Rangkiang tersebut memberikan tanda keadaan penghidupan kaumnya.

Menurut jenisnya rangkiang dibagi menjadi empat, yakni pertama rangkiang si tinjau lauik (si tinjau laut), yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Kedua, rangkiang si bayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari. Ketiga, rangkiang si tanggung lapa (si tanggung lapar), yaitu tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Keempat, rangkiang kaciak (rangkiang kecil), yaitu tempat menyimpan padi abuan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya.

Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi. Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut, terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri, telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga dengan keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk mengatasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa.

Keberadaan rangkiang telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari. Sebab, dalam rangkiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi. Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Nah, sekarang sebetulnya menurut filosofinya di negeri kita ini tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, pinjam sini pinjam sana (ngutang) dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini.

Di beberapa daerah, tempat menyimpan padi diistilahkan dengan kopuak, misalnya di daerah Rao – Pasaman. Biasanya kopuak berukuran kecil, dan di beberapa daerah seperti di daerah Rao-Pasaman tersebut terletak berjajar di sepanjang jalan. Itu dulu tapi sekarang ini sulit untuk menemukannya lagi.

Dulu waktu kecil penulis, setelah panen padi langsung dibawa dan dimasukkan ke dalam kopuak tersebut. Malu rasanya bagi seseorang setelah panen langsung menjual padinya. Sekarang ini, bagi petani setelah panen padi hasilnya langsung dijual. Istilah orang kampung penulis "kopuak bajalan'! Sebab padi yang baru dipenen langsung dibawa mobil dijual kepada toke padi tanpa disimpan ke dalam rangkiang atau kopuak tersebut. Sebuah tradisi yang buruk untuk keberlangsungan sebuah rumah tangga.

Tidak berhenti di situ saja sebetulnya, dan juga merupakan kesalahan kita selama ini, yakni melihat persoalan penyakit yang terjadi dalam masyarakat sering dilihat dari  aspek medis saja. Persentase sering menjadi tolok ukur dalam pemberantasannya, bahkan yang paling celaka lagi, misalrrya penyakit kurang gizi, kurangnya asupan gizi si anak dan pengetahuan si ibu merupakan argumentatif yang sering dilontarkan untuk membingkai persoalan gizi buruk itu sendiri.

Segi medis, namun jauh dari itu menyigi dari segi budaya pun lebih terang rasanya. Menyigi gizi buruk dari segi budaya dengan menghidupkan roh filosofi rangkiang tersebut merupakan sebuah terobosan yang baik. Apalagi sebetulnya pemahaman kita terhadap hakekat rangkiang-roh rangkiang itu sendiri telah hilang bagi kita sendiri. Atau dengan kata lain menghidupkan roh rangkiang dalam kehidupan kita akan lebih efektifuntuk memberantas penyakit yang satu ini. 

Coba kita bayangkan, bila rangkiang-rangkiang kita dipenuhi dengan padi tidakkah anak kita akan terhindar penyakit kurang gizi tersebut. Sekarang rangkiang itu yang tidak berisi padi, naifnya rangkiang itu sendiri habis dan tidak ada lagi menghiasi rumah gadang kita. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita dan akhirnya gizi buruk menggurita di negeri kita ini.

Sebetulnya persoalan tentang gizi buruk, tidak sekarang ini saja terjadi. Jauh-jauh sebelumnya juga terjadi. Berbagai macam program kerja mulai dari tingkat pusat dan daerah dalam bidang kesehatan telah bajibun dilakukan tapi yang namanya gizi buruk muncul jua. Berbagai macam seminar dengan narasumber yang mulutnya berbusa-busa menceramahi para peserta seminar namun gizi buruk jua terjadi. Nampaknya semua itu tak mampan juga untuk memberantas penyakit ini. Jangankan berkurang tapi bertambah.

Ke depan, untuk memberantas penyakit kurang gizi ini nampaknya memahami roh filosofi rangkiang merupakan sebuah tindakan yang baik. Roh filosofi rangkiang menjiwai dan dijiwai oleh setiap masyarakat. Dengan menjiwai dan dijiwainya roh filofosi rangkiang tersebut mudah-mudahan yang namanya gizi buruk tidak akan terjadi lain di negeri kita ini, wasalam.(*)

Sumber: Padang Ekspres