Saatnya Kembali ke Ragam Pangan
Posted on 28 11:05:39 Februari 2018 | by : Administrator | 3710 kali dibaca | Category: Artikel
Dewi Sri sering diidentikkan dengan dewi padi orang Jawa. Namun, sosok dalam mite di Jawa ini sebenarnya lebih tepat menjadi dewi kesuburan dan keragaman pangan. Reduksi Dewi Sri hanya sebagai dewi padi merupakan bagian dari politik pangan bias beras yang menguat di era Kerajaan Mataram dan terus didengungkan oleh para penguasa hingga kini.
Dalam artikel J Sibina Mulder yang berjudul Hoe de Rijst Onstond-De Spijze die nooit verveelt atau Bagaimana Terjadinya Padi-Makanan yang Tidak Pernah Menjemukan (1948) disebutkan bahwa padi dipercaya berasal dari jenazah Dewi Sri. Namun, selain padi, terdapat banyak tanaman lain yang juga berasal dari jenazah Dewi Sri. Dari tubuhnya tumbuh pohon aren, dari kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari kedua tangannya tumbuh pohon buah-buahan, dan kakinya tumbuh umbi-umbian dan talas.
Menurut ahli folklor, James Danandjaja, dalam bukunya Folklor Indonesia (1984), mitologi Dewi Sri merupakan hasil sinkretisme Dewi Hindu dari India dengan bidadari dalam mitologi bulan di Jawa. Dalam versi lain, Dewi Sri juga diidentifikasikan di dalam penjelmaannya dengan Dewi Ken Tisnawati. Identifikasi ini, misalnya, terlihat dalam mite pertanian Meukukuhan, yang merupakan lakon wayang purwa.
Unsur India dalam mitologi Dewi Sri ini kemungkinan berasosiasi dengan pengaruh budidaya sawah yang diadopsi dari sana. Adapun aneka pangan lain dalam mitologi ini merupakan unsur lokal yang lebih dulu berkembang di Jawa.
Pengajar pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bonjok Istiaji, mengatakan, konsep ketahanan pangan masyarakat Jawa di masa lalu sebenarnya juga bukan hanya disandarkan pada kecukupan padi. Keragaman pangan itu tecermin dalam prinsip pola tanam yang meliputi unsur pala kesampar, pala gumantung, pala wijo, pala kependem, dan pala kitri.
”Pala kesampar merupakan tanaman yang terhampar seperti waluh, pala gumantung seperti kelapa dan pisang yang tidak mengenal musim, pala wijo merupakan penghasil biji-bijian, pala kependem dari umbi-umbian, dam pala kitri merupakan aneka tanaman pekarangan,” katanya.
Menurut Bonjok, berbeda dengan masyarakat subtropis yang ketahanan pangannya terletak pada pengolahan atau fermentasi bahan, ketahanan pangan masyarakat di Nusantara adalah pada produksi. Lumbung kita ada di tanah karena alam menumbuhsuburkan beragam jenis pangan. Semakin beragam yang ditanam, semakin kuat daya tahannya.
Bias beras
Perlahan masyarakat yang secara tradisional memakan aneka pangan beralih ke beras. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan konsumsi beras per kapita tertinggi di dunia. Data dari Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, konsumsi beras di Indonesia per kapita pada 2016 sebesar 101 kilogram per tahun.
Lonjakan konsumsi beras di Indonesia terutama terjadi di era Orde Baru, yang begitu terobsesi meningkatkan konsumsi beras. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jika pada 1954 porsi beras dalam pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen, sisanya dipenuhi dari ubi kayu sebesar 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen. Pada 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen, sisanya beras dan gandum.
Sebagai orang Jawa, Soeharto sepertinya terinspirasi dari para penguasa Kerajaan Mataram kuno yang menjadikan beras sebagai ukuran kemakmuran dan stabilitas negeri. Jejak tertua budidaya padi di Jawa ini bisa dilacak pada prasasti Canggal yang ditemukan di kompleks candi Gunung Wukir di Desa Kadiluwih, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti dari tahun 732 Masehi ini ditulis dengan aksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Inskripsi terhadap prasasti ini yang dilakukan Museum Nasional di Jakarta menyebutkan, bahwa ”Yawadwipa (Jawa) di bawah Raja Sanjaya telah diberkahi kekayaan beras dan emas.”
Berikutnya, beras juga menjadi sendi penyokong kekuasaan Kerajaan Mataram (Islam) dari abad ke-16 hingga ke-18 Masehi. Sebagaimana tertulis dalam Babad Tanah Jawi (1939), para Raja Mataram menyadari posisi beras sebagai penjaga stabilitas kekuasaan.
Soeharto menyadari betul posisi penting beras. Stabilitas harga dan ketersediaan beras dikawal ketat. Bahkan, demi memenuhi hasrat swasembada beras, Soeharto meluncurkan ”Revolusi Hijau” yang belakangan berdampak menghancurkan ekologi dan kedaulatan petani.
Selain itu, untuk menjaga loyalitas pegawai negeri sipil dan tentara, selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto memberikan jatah beras bulanan. Penjatahan beras ini memiliki andil besar menyebarkan penyeragaman pangan ke beras.
Apalagi, sejak 2003, di era Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah memiliki program raskin atau bantuan beras untuk masyarakat miskin. Sejak saat itu, beras masuk lebih jauh ke penjuru Indonesia, termasuk ke pedalaman Papua yang secara tradisional bukan pemakan beras.
Kebijakan bias beras ini terus berlangsung di era Presiden Joko Widodo, yang salah satu impiannya adalah mencetak satu juta hektar sawah baru, lagi-lagi termasuk di Papua. Kebijakan bias beras juga terlihat dalam upaya menganakemaskan tiga komoditas andalan, yaitu padi, jagung, dan kedelai atau pajale.
”Pangan lokal dilupakan,” kata Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
Masalahnya, produksi padi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat. Hal ini terbukti dari impor beras yang terus terjadi. Belakangan, kita semakin tergantung gandum impor yang proporsinya terus meningkat.
”Produksi padi per hektar saat ini sudah maksimal, akan sulit ditingkatkan lagi. Bahkan, berpeluang turun dengan beragam serangan hama. Sementara itu, pembukaan sawah di luar Jawa akan menghadapi masalah kecocokan agroklimatologinya dan persoalan budaya,” kata Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB Suryo Wiyono.
Berbasis lokal
Pentingnya keberagaman pangan sebenarnya telah disadari Presiden Soekarno. Saat berpidato pada Perayaan Hari Tani pada September 1965, Soekarno menekankan pentingnya mengubah menu makan agar tidak melulu beras.
Menurut Soekarno, upaya untuk meningkatkan produksi saja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dia menyebutkan, produksi beras Indonesia sebelum kemerdekaan hanya 5,5 juta ton, sedangkan pada 1965 sudah mencapai 11 juta ton. ”Toh harganya masih tetap naik. Sebabnya? Banyak. Pertama, jumlah penduduk kita naik kurang lebih 50 persen. Dari 72 juta, sekarang tercatat 105 juta,” kata Soekarno (Kompas, 28 September 1965).
Pemikiran Soekarno ini seperti menekankan pidatonya saat acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor pada 27 April 1952. Saat itu, dia sudah menyadari sulitnya memenuhi perut penduduk negeri ini yang jumlahnya terus berlipat, sementara produksi pangan cenderung ajek, bahkan berkurang.
Oleh karena itu, menurut dia, ”Persediaan bahan makanan itu harus ditambah.” Namun, menurut Soekarno, penambahan sawah bukanlah jalan keluar mengingat luas lahan yang cocok untuk budidaya padi sawah sangat terbatas. Dia mengajak kita untuk memusatkan perhatian ke lahan kering, bahkan juga ke lahan gambut.
”Alangkah besarnya persediaan makanan kita kalau 8 juta hektar ini dapat kita berikan produksi yang lebih tinggi. Di sini di tanah-kering inilah, lebih way-out mutlak yang kita cari,” kata Soekarno waktu itu.
Soekarno mengajak menanami lahan kering ini dengan aneka tanaman yang, ”...nilai khasiatnya harus dibuat sederajat dengan nilai khasiat padi, misalnya jagung, jawawut, kedelai, kacang tanah, dan lain-lain sebagainya lagi. Penggiatan seleksi bagi tanaman-tanaman tanah kering ini teranglah satu keharusan yang lekas harus kita penuhi!”
Sumber : Kompas